Auguste Comte dan Upaya Pencarian Kebenaran melalui Positivisme

    

(Auguste Comte. Sumber : wikimedia commons)

    Auguste Comte merupakan seorang sosiolog sekaligus filsuf berkebangsaan Prancis yang lahir pada tahun 1798. Lahir dari keluarga Katolik terpandang tidak serta-merta membuat Comte menjadi sosok yang religius. Pada usia 16 tahun, ia memutuskan untuk menempuh pendidikan di École Polytechnique, sebuah institut teknik terkemuka di Prancis.

    Meskipun awalnya mempelajari teknik, perkenalannya dengan filsuf sosial Saint-Simon membangkitkan minatnya terhadap studi filsafat. Saint-Simon adalah sosok yang memperkenalkan Comte pada gagasan Positivisme, yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Comte sendiri. Dalam perjalanan hidupnya, Comte mengalami berbagai tragedi, seperti kehilangan istrinya, yang membuatnya nyaris melakukan bunuh diri, hingga pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Meski demikian, ia tetap aktif berkarya hingga wafat pada tahun 1857 akibat kanker lambung.

    Sebagai pelopor utama Positivisme, Comte berpandangan bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui pengamatan ilmiah. Baginya, pengetahuan tidak cukup hanya berdasarkan pemikiran rasional atau spekulatif, tetapi harus dikukuhkan lewat observasi dan metode ilmiah. Positivisme memiliki kemiripan dengan empirisme yang juga mengutamakan pengamatan inderawi, namun berbeda karena Positivisme secara tegas menolak segala bentuk penjelasan metafisis, yakni penjelasan yang bersifat abstrak dan spekulatif, tanpa bukti ilmiah.

    Comte meyakini bahwa Positivisme merupakan puncak perkembangan intelektual umat manusia. Ia merumuskan Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages) sebagai cara untuk memperiodisasi perkembangan cara berpikir manusia, khususnya dalam konteks sejarah Eropa. Ketiga tahap tersebut adalah: Teologis, Metafisis, dan Positif.

    1. Tahap Teologis disebut sebagai masa kanak-kanak umat manusia. Pada tahap ini, fenomena alam dijelaskan melalui kekuatan supranatural. Comte membagi tahap ini menjadi tiga subfase: animisme (keyakinan bahwa semua benda memiliki jiwa), politeisme (keyakinan pada banyak dewa), dan monoteisme (keyakinan pada satu Tuhan).

       2. Tahap Metafisis adalah masa remaja umat manusia. Pada tahap ini, penjelasan terhadap fenomena alam tidak lagi sepenuhnya supranatural, melainkan menggunakan konsep-konsep abstrak yang lebih rasional. Namun, Comte menilai bahwa tahap ini masih belum cukup ilmiah karena tidak dibuktikan melalui metode penelitian yang sistematis.

    3. Tahap Positif adalah tahap kedewasaan intelektual umat manusia. Dalam tahap ini, manusia mulai menjauh dari penjelasan teologis maupun metafisis, dan mulai menggunakan metode ilmiah untuk memahami realitas. Menurut Comte, hanya melalui pendekatan positif inilah manusia dapat mencapai kemajuan sosial dan pengetahuan yang stabil.

    Meskipun gagasan Positivisme Comte sempat sangat berpengaruh, ia tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik utama datang dari sosiolog Max Weber, yang menilai bahwa pendekatan Comte mengabaikan aspek subjektif dan makna dalam tindakan sosial, padahal hal tersebut sangat penting dalam memahami realitas sosial. Selain itu, Positivisme menuntut ilmu pengetahuan bersifat netral dan bebas kepentingan, yang dalam praktiknya sulit terwujud karena ilmu sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, ekonomi, atau ideologis.

    Kendati demikian, pemikiran Comte melalui Positivisme dianggap sangat penting dalam memisahkan sosiologi dari filsafat spekulatif, menjadikannya sebagai ilmu yang independen dan berdiri di atas landasan metodologi ilmiah. Ia meyakini bahwa metode-metode dalam ilmu alam dapat diterapkan untuk memahami masyarakat. Gagasan-gagasannya banyak memengaruhi tokoh-tokoh besar seperti Émile Durkheim, meskipun dengan pandangan yang lebih kompleks, serta Max Weber sebagai tokoh kritis terhadap pendekatan positivistik.

    Comte bahkan dianggap sebagai Bapak Sosiologi, karena ia yang pertama kali menggunakan istilah sociologie untuk menggantikan istilah fisika sosial. Warisannya sebagai pionir dalam ilmu sosial modern tetap relevan hingga kini, terutama dalam diskursus tentang metodologi dan batasan ilmu sosial.


Referensi : 


[Positivisme: Sejarah, Ciri-Ciri, Prinsip-Prinsip, dan Penerapan dalam Ilmu Sosial – Blog UI An Nur Lampung](https://an-nur.ac.id/blog/positivisme-sejarah-ciri-ciri-prinsip-prinsip-dan-penerapan-dalam-ilmu-sosial.html)


[Auguste Comte: Bapak Sosiologi dan Pemikir Positivisme – Blog UI An Nur Lampung](https://an-nur.ac.id/blog/auguste-comte-bapak-sosiologi-dan-pemikir-positivisme.html)


Nugroho, I. (2016). Positivisme Auguste Comte: Analisa epistemologis dan nilai etisnya terhadap sains. _Cakrawala Jurnal Studi Islam_, _11_(2), 167–177. https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192


Mayadah, U. (2022). POSITIVISME AUGUSTE COMTE. _Paradigma Jurnal Kalam Dan Filsafat_, _2_(01). https://doi.org/10.15408/paradigma.v2i01.26576


Arifin, L. M. S. (2020). Filsafat Positivisme Aguste Comte dan Relevansinya Dengan Ilmu-ilmu Keislaman. _Filsafat Positivisme Aguste Comte Dan Relevansinya Dengan Ilmu-ilmu Keislaman_, _12_(2), 127–144. https://interaktif.ub.ac.id/index.php/interaktif/article/download/238/196


Hardiman, F. B. (2004b). _Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche_. Gramedia Pustaka Utama.