Pada tahun 1974, di Benggala Timur yang akan menjadi negara Bangladesh modern, terjadi kelaparan luar biasa yang mengancam nyawa penduduk di situ. Menurut laporan resmi pemerintah, puluhan ribu orang meninggal akibat bencana kelaparan ini, namun menurut akademisi jumlahnya jauh melebihi hingga 1.500.000 korban jiwa. Peristiwa tragis ini menjadi salah satu latar yang menggarisbawahi urgensi pemikiran etis pada masa itu.
Disaat sembilan juta orang berjuang untuk mendapatkan makanan demi bertahan hidup, masyarakat di peradaban modern nan makmur, seolah hanya berdiam diri. Di sinilah Peter Singer, seorang filosof etika dari Australia, merasa keberatan atas apa yang ia pandang sebagai keegoisan masyarakat di peradaban yang makmur.
Peter Singer menggunakan analogi yang sederhana namun menusuk, jika di sebuah kolam dangkal Anda melihat anak kecil yang tenggelam, maka secara etika moral Anda wajib menyelamatkan anak kecil itu walau pakaian kita harus kotor. Singer berpendapat walau hampir semua orang setuju akan analogi sederhana ini, nyatanya hampir tidak ada orang yang ingin melakukan nya ketika dihadapkan pada skala global.
Dalam esainya yang berjudul "Famine, Affluence, and Morality," yang pertama kali dirilis pada tahun 1972 (dua tahun sebelum puncak kelaparan Benggala Timur yang sering dikutip sebagai contoh nyata), Singer memberi tiga prinsip dasar yang menjadi dasar argumennya. Pertama, membiarkan orang kelaparan, sakit, bahkan mati, secara moral adalah tindakan yang salah. Ini adalah premis yang sederhana dan diakui secara universal. Prinsip ini juga, menurutnya, tidak boleh pilih-pilih; menolong anak di belahan dunia lain sama wajibnya dengan menolong anak tetangga. Tidak boleh ada diskriminasi geografis di sini.
Prinsip kedua, kita memiliki kewajiban menolong orang lain jika pengorbanan yang kita berikan tidak sebanding dengan penderitaan yang bisa kita cegah, atau dengan kata lain, jika kita dapat mencegah sesuatu yang sangat buruk terjadi tanpa harus mengorbankan sesuatu yang memiliki nilai moral sebanding. Ambil contoh dengan analogi sebelumnya, kita hanya perlu mendapatkan baju yang kotor untuk menyelamatkan sebuah nyawa, sebuah pengorbanan yang jelas tidak sebanding. Ini juga seharusnya asumsi yang bisa diterima oleh banyak orang.
Melalui kedua prinsip atau premis di atas, maka terbentuklah kesimpulan yang akan menjadi salah satu kesimpulan moral yang paling kontroversial nan radikal di abad ke-20. Kesimpulan tersebut menyatakan bahwa kita wajib mengorbankan hal-hal yang tidak signifikan secara moral untuk menyelamatkan orang dari kelaparan, sakit, dan kematian. Maksudnya, adalah sebuah kesalahan moral jika Anda menghamburkan uang untuk membeli baju mewah, mobil baru, atau berlangganan layanan hiburan yang tidak esensial, ketimbang mendonasikan uang itu untuk menyelamatkan nyawa seseorang.
Tentu saja, argumen Singer ini tidak lepas dari kritik. Banyak yang berpendapat bahwa tuntutannya terlalu berat dan tidak realistis bagi kebanyakan orang (isu demandingness). Ada juga yang mempertanyakan apakah kita benar-benar memiliki kewajiban yang sama terhadap orang asing nun jauh di sana dibandingkan dengan keluarga atau komunitas terdekat kita. Namun, Singer tetap teguh pada pendiriannya bahwa penderitaan adalah penderitaan, di manapun itu terjadi.
Menurut Singer, kita harus mengubah konsep amal dan kewajiban di era modern kini. Menurutnya, memberikan bantuan kepada anak yang sedang kelaparan di dunia sana sudah bukan lagi tindakan amal , yang mendapatkan pujian jika dilakukan dan tidak apa-apa jika tidak dilakukan. Menurutnya, ini wajib, dan jika tidak dilakukan maka Anda bersalah secara etika.
Pada inti dari esainya, Singer berharap bahwa analogi awal yang baru saja disampaikan, terkait anak yang tenggelam, bisa diterapkan dalam dunia nyata, bahkan dalam konteks yang kecil. Individu harus secara sadar menolong orang lain, dan tidak boleh tidak menolong orang lain dengan hanya melihat orang yang berada di posisi yang sama dengan kita tidak melakukannya. Justru itu tanggung jawab kita terhadap menolong orang lain jauh lebih besar. Selain itu, seharusnya kita tidak boleh menyatakan tugas donasi seperti ini tugas pemerintah dan kita seharusnya lepas tangan. Menurut Singer, jika masyarakat secara apatis tidak peduli akan masalah donasi, pemerintah maka menangkapnya bahwa rakyat mereka tidak peduli akan hal seperti itu dan akhirnya program donasi tidak dilanjutkan.
Pada akhirnya, meski telah puluhan tahun berlalu sejak pertama kali digulirkan, gagasan Singer ini tetap relevan dan terus menantang cara kita memandang kemewahan, kemiskinan, dan tanggung jawab moral kita di dunia yang semakin terhubung namun masih dipenuhi ketimpangan.
Versi Penuh Essays Famine, Affluence, and Morality