Aristoteles merupakan seorang filsuf, sekaligus polymath atau orang yang mampu menguasai berbagai studi disiplin, diantaranya biologi, filsafat, ekonomi, politik, dll. Ayah Aristoteles adalah Nicholaus, seorang tabib kerajaan Makedonia, nantinya hubungan keluarga Aristoteles dengan Kerajaan Makedonia akan mempengaruhi alur perjalanan hidup Aristoteles.
Aristoteles telah kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil, yang kemudian sampai umur 17 tahun ia dijaga oleh seorang wali yaitu Pehonexus. Setelah berumur 17 tahun, Aristoteles kemudian pindah ke Athena dan bersekolah di Academia, yaitu sekolah yang didirikan oleh filsuf besar Plato. Di kemudian hari nantinya Aristoteles menjadi salah satu murid hebat Plato.
Di umurnya yang ke-37 tahun, alias di waktu Plato meninggal, Aristoteles meninggalkan Academia. Alasannya kurang jelas, namun kemungkinan karena tumbuhnya sentimen anti-Makedonian dan juga kekecewaan Aristoteles terhadap penerus Plato yaitu sepupunya.
Setelah Aristoteles meninggalkan Academia dan kembali ke kampung halamannya, Aristoteles diminta mengajar Alexander, yang nantinya akan menjadi Alexander yang Agung, sang penakhluk besar dunia kuno. Aristoteles kemudian hanya sebentar mengajari Alexander, setelahnya Aristoteles kembali lagi ke Athena untuk mendirikan sekolahnya sendiri yaitu Lyceum, atau biasa dikenal sebagai sekolah peripatetik karena kebiasaan Aristoteles yaitu mengajar sambil berjalan-jalan.
Namun di kemudian hari, setelah Alexander yang Agung meninggal, sentimen anti-Makedonian menguat kembali, menyebabkan Aristoteles dituduh merusak kepercayaan Athena, tuduhan yang sama yang dilontarkan pada Socrates. Akhirnya di akhir hayatnya Aristoteles harus meninggalkan Athena, tidak ingin kota itu melakukan dosa kedua terhadap dunia filsafat.
Sebagai seorang polymath, jasa Aristoteles dalam ilmu pengetahuan sangatlah banyak, salah satunya di ilmu logika dimana Aristoteles lah yang mengembangkan metode berpikir silogisme. Sebagai contoh, jika Ayam adalah Makhluk fana, dan Makhluk fana akan mati, maka ayam akan mati.
Di bidang filsafat, Aristoteles mengembangkan ilmu filsafat Metafisika. Menurutnya, sesuatu terbuat dari dua hal, yaitu substansi dan esensial. Substansi adalah hal nyata yang menjadi fondasi utama dalam hal tersebut, sedangkan esensi adalah kenapa benda itu ada. Misalnya kita tidak bisa melihat rumah cuma dari bahannya yaitu kayu dan batu, namun juga harus melihat kenapa rumah itu dibangun.
Hal ini nantinya juga menyambung dengan konsep empat penyebab Aristoteles yaitu penyebab material (dari apa hal itu dibentuk), sebab formal (bentuknya bagaimana), sebab efisien (bagaimana hal itu terbentuk), sebab final (untuk apa hal itu dibentuk).
Selain itu, Aristoteles juga mencoba mengembangkan, atau lebih tepatnya membantah konsep dunia ide Plato. Menurutnya, dunia ide dan dunia konkret tidak terpisah seperti yang diungkapkan Plato, melainkan menjadi satu kesatuan. Sesuatu adalah nyata karena memang dari sananya hal itu sudah nyata.
Analoginya, kita tidak akan melihat apel jika ruangan gelap, dan berarti kita tidak dapat mendefiniskan apel itu melalui dunia ide yang seperti Plato ungkapkan, melainkan memang dari sananya. Nantinya hal ini akan mengembangkan konsep empirisme Aristoteles, yaitu konsep kebenaran diperoleh melalui pengamatan, berbeda dengan rasionalisme Plato yang mengembangkan konsep kebenaran diperoleh melalui pemikiran.
Namun, tentu dengan besarnya pengaruh Aristoteles dalam ilmu pengetahuan mengundang berbagai kritik dari berbagai kalangan. Misalnya, dari kalangan Empirisme sendiri menolak konsep substansi dan esensial Aristoteles. Menurut Hume, salah satu tokoh Empiris, substansi itu tidak bisa dilihat atau diamati, sehingga tidak bisa diverifikasi.
Hal yang sama juga dengan konsep empat penyebab Aristoteles, yang mendapatkan kritik dari Galileo Galilei karena menurutnya penyebab final tidak perlu, karena sesuatu terbentuk atau terjadi bukan karena memiliki tujuan. Contohnya apel jatuh bukan karena ingin, namun karena hukum gravitasi.
Di dunia filsafat Islam sendiri, konsep dunia Aristoteles yang mengatakan dunia tidak memiliki awal dikritik oleh Teolog Al-Ghazali, yang menganggap sebagian besar ide Aristoteles tidak berdasarkan konsep Islam dan Tauhid. Al-Ghazali menganggap Aristoteles adalah warisan budaya kafir Yunani zaman dahulu.
Meskipun mendapat berbagai kritik, pemikiran-pemikiran Aristoteles tetap akan berkembang dari waktu ke waktu dan akan terus diwariskan. Sebagai contoh, di tradisi filsafat Islam, Aristoteles dijuluki sebagai "guru pertama", karena dianggap sebagai manusia pertama yang mencoba berpikir secara sistematis.
Karya-karya Aristoteles banyak diterjemahkan dan dikomentari oleh intelektual-intelektual muslim saat itu, seperti Ibnu Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dll. Kemudian hari juga pemikiran Aristoteles yang telah dimodifikasi oleh filsuf Islam agar berjalan seiringan dengan agama, diadopsi oleh tokoh Kristen di Eropa yaitu Thomas Aquinas.
Dapat disimpulkan bahwa Aristoteles tidak hanya memberi sumbangan besar pada perkembangan berbagai disiplin ilmu, tetapi juga mempengaruhi perkembangan pemikiran manusia selama berabad-abad, melintasi batasan budaya, agama, dan geografis. Pemikirannya yang sistematis, komprehensif, dan kritis telah membentuk dasar metodologi ilmiah dan filsafat yang kita kenal hingga saat ini.