Ibnu Rushd, atau yang di dunia Barat dikenal sebagai Averroes, adalah seorang filsuf, ahli hukum, dokter, dan astronom Muslim kelahiran Cordoba, Andalusia (kini Spanyol) pada tahun 1126 M. Ia berasal dari keluarga terpelajar yang dikenal sebagai qadi (ahli hukum) di kota tersebut. Sepanjang hidupnya, ia tidak hanya menghasilkan karya-karya filsafat, tetapi juga menulis dalam bidang kedokteran, astronomi, hukum (fiqih), dan teologi.
Masa kecil Ibnu Rushd diisi dengan mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fiqih dan hadis, yang menjadi dasar pemikirannya kelak. Ia juga belajar kedokteran dari seorang guru yang kemudian mengenalkannya pada filsafat. Ia aktif dalam komunitas filsuf dan akhirnya berkenalan dengan Ibnu Tufayl, seorang filsuf dan dokter istana yang memperkenalkannya kepada Khalifah Abu Yaqub Yusuf dari Dinasti Almohad.
Pada 1159, Ibnu Rushd pergi ke Marrakesh (ibu kota Almohad) untuk mempelajari astronomi. Di sana, ia bertemu dengan Khalifah Abu Yaqub, yang terkesan dengan kecerdasannya. Ketika sang khalifah mengeluh tentang kesulitan memahami karya-karya Aristoteles, Ibnu Tufayl menyarankan agar Ibnu Rushd yang menjelaskannya. Inilah awal mula Ibnu Rushd menulis sederetan komentar (syarh) terhadap filsafat Aristoteles, yang kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memengaruhi pemikiran Eropa.
Namun, situasi berubah setelah khalifah baru, Abu Yusuf Yaqub al-Mansur, berkuasa. Ibnu Rushd dikritik, diadili, karyanya dibakar, dan ia diasingkan. Penyebabnya masih diperdebatkan, tetapi kemungkinan besar karena alasan politik: khalifah baru ingin mendekati para teolog konservatif yang anti-filsafat untuk memperkuat dukungan dalam menghadapi ancaman Kerajaan Kristen. Meski sempat dipanggil kembali ke istana, Ibnu Rushd akhirnya meninggal dalam pengasingan pada 1198 M karena usia tua.
Karya terbesar Ibnu Rushd adalah komentar-komentarnya terhadap filsafat Aristoteles, yang membuatnya dijuluki "Sang Komentator" di Eropa. Meski kurang berpengaruh di dunia Islam, pemikirannya justru menginspirasi gerakan Averroisme di Eropa, yang menjadi cikal bakal rasionalisme dan sekularisme.
Salah satu kontribusi terpenting Ibnu Rushd adalah perdebatannya dengan Imam Al-Ghazali melalui karya besarnya "Tahafut at-Tahafut" ("Kerancuan atas Kerancuan"), yang merupakan sanggahan terhadap buku Al-Ghazali "Tahafut al-Falasifah" ("Kerancuan Para Filsuf"). Al-Ghazali menuduh para filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi telah kufur karena tiga pemikiran utama mereka.
Pertama, tentang keabadian alam semesta. Al-Ghazali menolak pendapat filsuf bahwa alam semesta bersifat abadi dan tidak diciptakan dari ketiadaan, karena bertentangan dengan Al-Qur'an yang menyatakan Tuhan sebagai Pencipta. Ibnu Rushd membela bahwa alam memang abadi, tetapi dalam pengertian bahwa Tuhan secara aktif dan terus-menerus menciptakannya. Menurutnya, jika alam diciptakan dalam waktu tertentu, berarti Tuhan terikat oleh waktu - suatu pemikiran yang justru mengurangi kesempurnaan Tuhan.
Kedua, mengenai pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikular. Al-Ghazali menuduh filsuf mengatakan Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, tidak yang detail. Ibnu Rushd menjelaskan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, baik universal maupun partikular, tetapi cara Tuhan mengetahui berbeda dengan manusia. Tuhan mengetahui segala sesuatu secara langsung dan menyeluruh, tanpa proses belajar atau penalaran seperti manusia.
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani dan rohani. Al-Ghazali berpendapat bahwa di akhirat nanti, manusia akan dibangkitkan secara jasmani dan rohani. Sementara filsuf cenderung mengatakan hanya rohani yang dibangkitkan. Ibnu Rushd berargumen bahwa yang mengalami kebangkitan adalah jiwa, karena tubuh fisik akan hancur. Jika menggunakan tubuh baru, itu tidak adil karena tubuh baru tersebut tidak pernah berbuat dosa. Selain itu, yang merasakan kenikmatan atau siksaan di akhirat adalah jiwa, bukan jasmani.
Meskipun pemikirannya kurang berkembang di dunia Islam karena dominasi teologi Al-Ghazali dan jaraknya dari pusat kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, pengaruhnya justru menggema di Eropa. Karyanya yang diterjemahkan ke Latin memicu gerakan Averroisme yang memengaruhi pemikir seperti Thomas Aquinas, Dante, dan Renaisans. Ia berjasa dalam mempertahankan metode rasional-empiris yang menjadi dasar sains modern.
Walau sempat dikucilkan di dunia Islam, gagasannya justru menjadi jembatan antara tradisi Yunani, Islam, dan Eropa. Perdebatannya dengan Al-Ghazali menunjukkan upayanya mendamaikan akal dan wahyu, suatu warisan yang tetap relevan hingga kini. Ia membuktikan bahwa filsafat dan agama dapat berjalan beriringan, asalkan masing-masing dipahami dengan benar.
Referensi :
https://en.wikipedia.org/wiki/Averroes
https://www.averroes.or.id/profil-averroes-community/siapakah-averroes