(Arthur Laffer. Sumber : Wikimedia Commons)
Pada tahun 1974, seorang ekonom Amerika Serikat bernama Arthur Laffer menciptakan sebuah kurva yang kelak akan berpengaruh besar terhadap arah kebijakan ekonomi Presiden Ronald Reagan. Kurva ini dikenal sebagai Kurva Laffer, diambil dari nama penciptanya. Menariknya, kurva ini konon digambar Laffer secara spontan di atas serbet saat makan malam bersama staf pemerintahan. Lebih mengejutkan lagi, Laffer mengklaim bahwa ide tersebut bukan sepenuhnya miliknya. Ia menyebut bahwa pemikir Muslim abad ke-14, Ibnu Khaldun, telah terlebih dahulu mengemukakan gagasan serupa berabad-abad sebelumnya.
Secara sederhana, Kurva Laffer menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara dari pajak. Menurut Laffer, terdapat titik optimal dalam penetapan tarif pajak. Jika tarif pajak 0%, maka negara tentu tidak memperoleh penerimaan. Namun jika tarif pajak mencapai 100%, masyarakat kehilangan insentif untuk bekerja dan berproduksi karena seluruh hasil usaha mereka diambil negara, hasilnya, penerimaan juga kembali nol. Artinya, ada titik keseimbangan yang harus dicari agar tarif pajak tidak membunuh motivasi produksi, namun tetap mampu mendanai kebutuhan negara.
Teori ini kemudian menjadi dasar bagi kebijakan besar dalam masa pemerintahan Ronald Reagan, yakni pemotongan tarif pajak secara signifikan—salah satu yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Arthur Laffer sendiri terlibat langsung dalam tim ekonomi Reagan. Hasilnya cukup mencolok: penerimaan pajak meningkat dari 517 miliar dolar menjadi 909 miliar dolar dalam kurun waktu delapan tahun. Hal ini dianggap sebagai bukti bahwa pemotongan pajak, dalam kondisi tertentu, bisa mendorong produktivitas dan memperbesar basis pajak.
Namun demikian, Kurva Laffer tidak luput dari kritik. Kritik utama adalah bahwa kurva ini terlalu sederhana. Dalam kenyataan, sistem perpajakan sebuah negara terdiri dari berbagai jenis pajak, penghasilan, konsumsi, korporat, dan sebagainya, sehingga tidak bisa diwakili oleh satu garis lengkung semata. Selain itu, kurva ini tidak menyebutkan secara spesifik di mana letak titik optimal itu. Artinya, dari sudut pandang pengambilan kebijakan, teori ini sulit diterapkan tanpa data dan perhitungan lanjutan.
Kritik lainnya datang dari asumsi dasar kurva itu sendiri. Beberapa ekonom berpendapat bahwa meskipun pajak tinggi, masyarakat tetap akan bekerja karena mereka tidak punya banyak pilihan, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara pajak dan produktivitas tidak selalu bersifat linier atau langsung.
Meski begitu, Kurva Laffer tetap memberikan pesan penting, negara harus cermat dalam menetapkan kebijakan perpajakan. Bahkan Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah, telah memperingatkan bahwa pajak yang terlalu tinggi akan mengikis motivasi masyarakat untuk berproduksi, menciptakan ketegangan sosial, dan dalam jangka panjang dapat mengguncang stabilitas pemerintahan.
Dengan kata lain, Kurva Laffer, terlepas dari kekurangannya, menyampaikan satu pelajaran penting: pajak bukan hanya soal angka, tapi juga soal psikologi dan insentif. Dan sejarah telah membuktikan bahwa mengabaikan hal ini bisa membawa konsekuensi yang tidak ringan.
Referensi :
[Mengenal Kurva Laffer, Kurva yang Menentukan Tarif Pajak Optimal | Direktorat Jenderal Pajak](https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/mengenal-kurva-laffer-kurva-yang-menentukan-tarif-pajak-optimal)
[Efek Aritmatik dan Efek Ekonomi Kurva Laffer | Direktorat Jenderal Pajak](https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/efek-aritmatik-dan-efek-ekonomi-kurva-laffer#:~:text=Kurva%20Laffer%20adalah%20konsep%20ekonomi%20yang%20menyatakan%20bahwa,Serikat%2C%20Arthur%20Laffer%2C%20yang%20mengajukannya%20pada%20tahun%201970-an.)
[Kurva Laffer: Konsep, Cara Kerja, dan Kebijakan Tarif Pajak — Cerdasco](https://cerdasco.com/kurva-laffer/)
[Laffer Curve: History and Critique](https://www.investopedia.com/terms/l/laffercurve.asp)
[The Laffer Curve - Economics Help](https://www.economicshelp.org/blog/140859/economics/the-laffer-curve/)