Pada abad ke-2 SM, Yunani jatuh ke tangan Republik Romawi setelah serangkaian konflik militer. Salah satu pertempuran penting adalah Pertempuran Pydna pada tahun 168 SM, di mana Kerajaan Makedonia yang kala itu menguasai sebagian besar wilayah Yunani dikalahkan oleh Romawi. Setelah kemenangan ini, Romawi memecah wilayah Yunani menjadi beberapa provinsi administratif, seperti Achaea dan Makedonia.
Meskipun secara politik tunduk kepada Romawi, budaya Yunani tidak lenyap, justru sebaliknya, budaya Yunani sangat memengaruhi peradaban Romawi. Filsafat, seni, mitologi, dan sastra Yunani menjadi inspirasi utama bagi banyak pemikir dan seniman Romawi. Bahasa Yunani bahkan menjadi lingua franca di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Banyak polis (kota-negara) Yunani tetap memiliki otonomi lokal dan hanya diwajibkan membayar upeti kepada Roma.
Pada abad ke-4 M, Kekaisaran Romawi mengalami perpecahan menjadi dua bagian: Romawi Barat dan Romawi Timur (Bizantium). Yunani menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel (kini Istanbul). Dalam periode ini, agama Kristen mulai berkembang pesat dan menjadi agama resmi negara. Yunani tetap memainkan peran penting sebagai pusat intelektual dan budaya di dunia Kristen Timur.
Namun, Bizantium mulai melemah seiring waktu, terutama setelah Perang Salib Keempat (1204), ketika Konstantinopel direbut oleh pasukan Latin. Kekaisaran terpecah menjadi beberapa negara penerus, seperti Kekaisaran Nicea, Trebizond, dan Epirus. Kekaisaran Nicea berhasil merebut kembali Konstantinopel pada 1261 dan memulihkan Bizantium, meskipun dalam keadaan jauh lebih lemah.
Pada tahun 1453, Konstantinopel jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman), menandai berakhirnya Kekaisaran Bizantium. Wilayah-wilayah Yunani lainnya, termasuk Athena dan Peloponnesos, menyusul jatuh ke tangan Ottoman dalam beberapa dekade berikutnya. Di bawah kekuasaan Ottoman, wilayah Yunani menjadi bagian dari sistem administratif kekaisaran dan dibagi dalam beberapa vilayet (provinsi).
Meskipun berada di bawah kekuasaan Muslim, Ottoman relatif toleran terhadap agama Kristen Ortodoks. Namun, umat Kristen dikenakan pajak khusus seperti jizya (pajak non-Muslim) dan devşirme (pajak anak), yakni pengambilan anak-anak Kristen untuk dididik dan dijadikan pasukan elit Janissary setelah diislamkan. Praktik ini menjadi beban sosial dan psikologis bagi masyarakat Yunani, sekaligus memperkuat semangat kebangsaan mereka di masa mendatang.
Memasuki abad ke-18 dan ke-19, Yunani mengalami masa pencerahan nasional (Greek Enlightenment) yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi, jaringan diaspora pedagang, dan para intelektual muda yang belajar di Eropa. Ide-ide Pencerahan, Revolusi Prancis, dan semangat nasionalisme menyebar luas.
Pada tahun 1821, pecahlah Revolusi Yunani melawan Ottoman, dipimpin oleh organisasi rahasia Filiki Eteria dan sejumlah tokoh nasionalis. Setelah konflik yang berlangsung selama hampir satu dekade dan dengan intervensi dari Inggris, Perancis, dan Rusia, Yunani memperoleh kemerdekaan de facto pada 1829, yang dikukuhkan dalam Traktat London (1830).
Yunani kemudian membentuk kerajaan monarki di bawah Raja Otto dari Bavaria, lalu dilanjutkan oleh Raja George I dari Dinasti Schleswig-Holstein. Yunani secara bertahap memperluas wilayahnya melalui serangkaian perang, termasuk Perang Balkan (1912–1913), dan bergabung dengan Sekutu dalam Perang Dunia I. Pada puncaknya, Yunani berhasil menguasai sebagian besar wilayah Ionia (Asia Kecil) yang dulunya merupakan pusat peradaban Yunani kuno.
Namun ambisi besar ini berakhir tragis dalam Perang Yunani-Turki (1919–1922), ketika pasukan Turki di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk berhasil mengusir pasukan Yunani dari Anatolia. Kekalahan ini dikenal sebagai bencana Asia Kecil dan menyebabkan eksodus besar-besaran etnis Yunani dari wilayah tersebut.
Pada Perang Dunia II, Yunani kembali berada di tengah konflik besar. Yunani berhasil menahan serangan Italia pada tahun 1940, namun kemudian diserbu dan diduduki oleh Jerman Nazi pada 1941. Setelah pembebasan pada 1944, Yunani dilanda perang saudara antara kaum monarkis dan kaum komunis (1946–1949). Dengan bantuan Amerika Serikat (Doktrin Truman), faksi monarkis berhasil menang.
Namun ketidakstabilan politik berlanjut hingga tahun 1967, ketika terjadi kudeta militer dan berdirilah rezim junta yang otoriter. Pemerintahan militer berakhir pada tahun 1974, dan Yunani kemudian menjadi republik parlementer. Pada tahun 1981, Yunani resmi bergabung dengan Uni Eropa dan mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan.
Sayangnya, pertumbuhan tersebut tidak berkelanjutan. Krisis keuangan global tahun 2008 menghantam Yunani dengan keras, mengakibatkan defisit besar, utang publik melonjak, dan serangkaian program penghematan (austerity) yang memicu protes sosial. Meski begitu, Yunani tetap menjadi bagian penting dari Uni Eropa dan lambat laun mulai bangkit secara ekonomi dan sosial.