Kita Butuh Ditaktor, Analisis Pemikiran Thomas Hobbes

 


    Lahir di Inggris pada abad ke-16, Thomas Hobbes adalah seorang filsuf sekaligus polymath yang menguasai berbagai bidang seperti sejarah, fisika, dan matematika. Ia terlahir dari keluarga yang berantakan; ayahnya yang seorang pendeta bereputasi buruk meninggalkan keluarganya setelah membuat keributan di kotanya. Kemudian berkat pamannya yang suportif, ia berhasil mengenyam pendidikan hingga ke Universitas Oxford.

    Di Oxford, walau dikenal cerdas, ia tidak begitu menyukai kurikulum filsafat Skolastik yang populer saat itu, yang menurutnya terlalu abstrak dan spekulatif. Sebaliknya, ia sangat tertarik pada ilmu fisika dan geometri yang logis, serta pada penulis klasik. Sebelum Perang Saudara pecah, ia bahkan menerjemahkan karya sejarawan Yunani, Thucydides, yang mengisahkan Perang Peloponnesia. Dari sini, keyakinannya tumbuh bahwa demokrasi bisa berbahaya dan kekacauan adalah nasib yang lebih buruk daripada penindasan.

    Setelah lulus, ia direkomendasikan untuk menjadi tutor di Keluarga Bangsawan Cavendish. Hubungan ini memberinya stabilitas finansial, koneksi intelektual, dan kesempatan untuk melakukan grand tour keliling Eropa. Dalam perjalanannya, ia berkenalan dengan berbagai tokoh seperti Galileo Galilei dan Rene Descartes, serta lingkaran intelektual Marin Mersenne di Paris, yang mengukuhkan pandangannya pada filsafat mekanistik, bahwa segala sesuatu, termasuk manusia dan masyarakat, dapat dijelaskan melalui gerak dan materi.

    Namun, saat ia memperdalam ilmunya di Eropa, kampung halamannya di Inggris justru jatuh ke dalam pergejolakan politik antara kelompok Parlementer dan Royalis. Pergejolakan ini meledak menjadi Perang Saudara Inggris yang brutal. Merasa terancam karena pandangan pro-monarkinya, Hobbes mengungsi ke Paris. Dalam suasana pengasingan inilah, terinspirasi oleh kekacauan yang melanda negerinya, ia menulis magnum opus-nya, yaitu Leviathan.

    Leviathan adalah penjelasan monumental dari teori kontrak sosialnya. Menurut Hobbes, tanpa pemerintahan, manusia akan hidup dalam "keadaan alamiah" (state of nature). Menurut Hobbes, kondisi mengerikan ini timbul dari tiga pemicu utama dalam sifat manusia: Persaingan (untuk berebut sumber daya), Ketidakpercayaan (rasa takut konstan terhadap orang lain), dan Kejayaan (keinginan untuk dihormati dan ditakuti). Tiga hal ini mendorong manusia ke dalam perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes), sebuah kondisi yang ia gambarkan sebagai “solitary, poor, nasty, brutish, and short”, terasing, miskin, keji, brutal, dan singkat.

    Untuk lolos dari kondisi ini, manusia yang rasional setuju untuk membuat kontrak sosial. Mereka secara sukarela menyerahkan hak-hak dan kebebasan mereka kepada sebuah otoritas absolut, sang Leviathan. Penting dicatat, kontrak ini terjadi antar individu, bukan antara rakyat dan penguasa. Rakyat setuju di antara mereka sendiri untuk tunduk pada Leviathan, yang berarti Leviathan tidak terikat oleh kontrak dan rakyat tidak punya hak untuk memberontak, selama Leviathan mampu menjamin hal terpenting: keamanan dan perlindungan dari kematian.

    Bagi Hobbes, agar Leviathan ini efektif, kekuasaannya harus bersifat absolut dan tidak terbagi. Ia menentang keras gagasan pemisahan kekuasaan (antara raja, parlemen, dan pengadilan), karena baginya Perang Saudara Inggris adalah bukti nyata bahwa kekuasaan yang terbagi hanya akan menciptakan konflik dan kehancuran negara. Meskipun ia pribadi lebih menyukai monarki, bentuk Leviathan bisa berupa satu orang (monarki), sekelompok orang (aristokrasi), atau majelis (demokrasi), selama kekuasaannya mutlak dan menjadi satu-satunya sumber hukum.

    Jelas pemikirannya ini sangatlah kontroversial. Klaim radikalnya bahwa Tuhan pun berwujud materi menghancurkan otoritas spiritual Gereja. Bahkan, pihak Royalis yang seharusnya ia dukung ikut geram, karena argumennya menghilangkan dasar "hak ilahi raja" dan menggantinya dengan dasar persetujuan rasional demi keamanan, sebuah ide yang dianggap terlalu duniawi.

    Walau begitu, pemikiran Hobbes secara fundamental membentuk filsafat politik modern. Kritik terhadapnya melahirkan pemikiran baru, terutama dari John Locke yang berargumen bahwa manusia memiliki hak-hak alamiah (hidup, kebebasan, properti) yang tidak bisa diserahkan, sehingga kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Warisan Hobbes juga terlihat jelas dalam studi hubungan internasional melalui mahzab Realisme, yang memandang negara-bangsa di panggung dunia berlaku seperti individu dalam keadaan alamiah Hobbes: egois, didorong oleh kepentingan diri, dan terus mencari kekuasaan demi keamanan. Konsep inti negara modern yang memegang monopoli atas penggunaan kekuatan yang sah juga merupakan cerminan langsung dari Leviathan.


Sumber Referensi:


- Wikipedia Indonesia. (n.d.). _Thomas Hobbes_. Diakses dari [https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Hobbes]

- _Internet Encyclopedia of Philosophy (IEP)_. (n.d.). Hobbes: Moral and Political Philosophy. Diakses dari [https://iep.utm.edu/hobmoral/](https://iep.utm.edu/hobmoral/)

- _Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP)_. (2023). Hobbes's Moral and Political Philosophy. Diakses dari [https://plato.stanford.edu/entries/hobbes/]